Senin, 12 Desember 2016

Kehilangan

Ada banyak hal yang kita pelajari dari kehilangan.
Diantaranya
Rasa sakit,
Rasa rindu,
Dan rasa ikhlas.

Ketika rasa sakit itu datang
Kita seakan tak ingin kehilangan
Ingin rasanya memutar waktu

Ketika rasa rindu menghampiri
Kita bagai kembali ke saat itu
Mengingat banyak hal yang tlah dilewati

Dan ketika rasa ikhlas memasuki hati
Saat itulah kita dapat merayakan
Merayakan kehilangan.

Dimana tak ada lagi rasa sakit,
Tak ada kerinduan lagi.
Dan menerima semua yang pergi.

Hai kau. Berbeda

Hai kau.
Yang dulu sangat dekat
Yang slalu dipenuhi tawa
Yang hanya ada cerita tentangku dari bibirmu..
Dan kita lewati banyak musim
Tak terhitung berapa purnama.
Hai kau.
Yang dulu bagai sepasang slop kaki
Selalu berdua, bersama..
Saling menghangatkan hingga akhirnya kehilangan.

Bukan kehilanganmu,
Aku hanya rindu.
Kebiasaan kita saat bersama
Tawamu yang tak lagi sekeras dulu
Dan ceritamu yang tak lagi tentangku.

Mata yang tak lagi menatap
Senyum yang pudar
Kata tanpa kehangatan.

Dingin, beku.
Bagai orang asing,
Tak saling kenal.
Bahkan tak tau,
Memulai dari mana tuk bicara.
Semua sudah berubah..


Dalam keterbatasan hidupku

Jika memang ku,
Di takdirkan sebagai pencinta
Aku relakan diriku,
Bagai lilin yang terangi..
Malam gelap tanpa sinar.

Aku yang akan menerangi jalanmu
Saat tak ada yang perdulikanmu
Saat tak ada satupun cahaya
Aku akan menuntunmu sampai,
Kau menemukan cahaya
Yang menerangimu selamanya..

Biarlah aku terbakar habis
Melelehkan diriku
Tuk tetap meliha senyummu
Dalam keterbatasan hidupku
Dan mampu temanimu
Walau sementara,

Aku tak risaukan , bila
Suatu hari nanti kau temukan cahaya abadi,
Lalu melupakan diriku.
Sungguh, aku tak apa..
Aku sudah cukup bahagia
Dalam keterbatasan hidupku
Lewati waktu bersamamu

Tetaplah jadi milikku

Dari sekian hati yang ku singgahi
Pada setiap rumah yang aku kunjungi
Kau adalah rumah ternyaman yang pernah ada.
Kau adalah hati yang tulus yang pernah bersamaku.

Tak peduli hinaan cacian yang rendahkanku.
Kau tetap tegak berdiri,
Berkata akulah yang terbaik.
Apakah kata itu akan ku dengar 10 tahun lagi? Atau 25 tahun lagi?
Entahlah..
Aku harap kata itu milikmu selamanya,
Yang kan slalu kau ucap, 
Dan tak pernah kau lupakan.

Aku memang tak sebaik itu,
Aku hanya bisa berharap kau tak tinggalkanku
Seperti yang lainnya..
Sekalipun kepercayaanmu pudar,
Aku berharap kau tak melepasku.
Tak perduli kau percaya atau tidak
Hanya kau satu yang ku cinta.
Hatiku tak inginkan siapapun sampai aku mati,
Aku tetap mulikmu.
Meski nanti kau tak anggap aku milikmu,
Tapi kau kan tetap memiliki aku.

Minggu, 11 Desember 2016

Dharmatula Bhujangga Waisnawa, Griya Petamon (Negara - Jembrana)

Dharmatula di Griya Petamon Negara Jembrana yg diselenggarakan oleh gr. Komang Wiasa ( Yayasan Mustika Raung ) menghadirkan tiga ahli Weda dg topik "Mencari titik temu tradisi Bhujangga Waisnawa Bali dg Bhujangga Waisnawa kitab suci Weda" Minggu, 11 Desember 2016

Kesimpulan hasil Dharmatula :
1. Semeton Bhujangga Waisnawa Bali mutlak perlu belajar kitab suci Weda, Ithiasa dn Purana dismping lontar2 yg berbahasa jawa kuno dan bahasa bali demi menjalankan "Bhisama" leluhur dari Rsi Markandya ( Rsi Madura ) yg berbunyi "Yan sang Bhujangga tan wruh ring Dharma Pustaka, sipat sang Bhujangga, tuhu burat-barit sanaknia" dan juga dalam lontar Batur Kelawasan Petak termuat Rsi Markandya datang ke bali membawa Catur Weda ( reg, atharwa, sama, yajur weda ).
2. Tradisi Bhujangga Waisnawa di Bali pada hakikatnya bersumber dari kitab suci, shg tidak ad yg prlu dipertntangka, jika saat ini masih ada yg suka mempertentangkan itu semata-mata keterbatasan penguasaan sastra sansekerta, jawa kuno dan bali.
3. Paruman Para Rsi dalam Mahasabha Bali Beach, memutuskan bahwa Bhujangga Waisnawa adalah pemuna "Narayana" karna itu bacalah kitab Nãrãyana-Sūktah dan Nãrãyana-Upanisad.
4. Jika ada yg beropini Bhujangga Waisnawa Bali adalah Siwa Sidhanta, mohon untuk membaca kitab Siwa Purana yaitu bagaimana Dewa Siwa bersabda kpd Dewi Parvati untuk memuja Narayana.
5. Tubuh seorang bhujangga waisnawa ibarat kuil/pura/tempat suci, yang terdiri dari jiwa dan raga (nama rupa) karena itu harus di jaga dan dipelihara kesuciannya.
Memelihara pisik dengan mandi, dan makanan satwika. Sedangkan memelihara jiwa dengan japa mantra, samskara (yadnya untuk penyucian diri), dan berpikir positif.
6. Sesana/prilaku/pola hidup seorang bhujangga waisnawa :
1. sesuai dengan catur asrama, bramacari (masa mengenal Tuhan Narayana melalui belajar ilmu pengetahun yang bersumber dari veda), Grehasta / berumah tangga punya 4 misi yaitu menegakkan Dharma, melahirkan suputra, mengumpulkan harta, dan menyelamatkan roh. Wanaprasta, melatih hidup berkeseimbangan antara tujuan duniawi dan non duniawi, mulai pada pertengahan usia. Dan sanyasa adalah melatih perginya roh dari badan.
2. Bangun sebelum matahari terbit,  mandi, berbusana bersih, sembahyang, makan satwika, menjalankan swadharma dengan tulus ikhlas sebagai bagian dari bakti kepada Narayana, rendah hati, menghargai semua ciptaan Tuhan, berbicara dengan lembut, hormat pada orang tua, tidur secukupnya.

Semoga bermanfaat buat generasi muda Bhujangga Waisnawa.



Kamis, 08 Desember 2016

Dengan senyumannya

Wah, beruntungnya aku
Perut yang mulai lapar
Mendengar suara musik 
yang tak asing di telingaku.
Lalu ku berlari menuju gerbang,
Ya.. Sudah jelas.
Itu pria kurus dengan gerobaknya.
Dia pedagang keliling yang menjual burger,
Ku berkata "pak burger satu ya"
Sengan senyuman tulus nya ia bertanya
"Sapi atau ayam", "pedas atau tidak", "pakai sayur?"
Kata-kata itu tlah ku hafal..
Terakhir kali aku membeli saat hujan,
Dia tak perdulikan tetesan air di badannya,
Ia hanya berusaha melayani pelanggannya dengan baik,
Hanya 6000 perak.
Ber bonus senyuman dan semangat,
Burgernya sangat enak 
Tuk ukuran harga yang sangat murah.
Hai pak, tetap semangat.
Lalu malam itu pukul 7 
Ku dengar suara itu lagi..
Dia lewat di depan warung makan,
Kunlihat dagangannya tinggal beberapa potong roti 
Yang masih utuh..
Aku bahagia melihatnya,
Dan pria itu tetap berjalan
Dengan senyumannya.

Kemarahan

Kau tau kemarahanku?
Kemarahanku bagai petasan
Ramai,
Bising,
Berulang kali,
Namun sekalanya kecil.

Seperti biasa aku yang mudahnya
Tersulut emosi..
Lalu seketika meledak saat itu
Dan kemudian reda setelahnya
Lalu mati sendirinya

Kau tau kemarahanmu?
Kemarahanmu bagai bom waktu
Diam,
Menghitung mundur,
Lalu meledak seketika,
Dan menghancurkan segalanya.

Kau yang delalu diam,
Yang memendam sendiri
Semuanya terkumpul hingga kemudian
Tiba waktunya untuk meledak.
Sungguh menakutkan.